KRITIK TERHADAP PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH MENGENAI SYAFAQ ABYAD SEBAGAI PENANDA AWAL WAKTU SALAT ISYA

Abstrak

Artikel ini membahas perdebatan awal waktu salat Isya di kalangan ulama, yang terutama melibatkan perbedaan pandangan antara Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Abu Hanifah. Imam Malik dan Imam Syafi'i sepakat bahwa waktu salat Isya dimulai dengan hilangnya sinar merah (asy-Syafaq al-Ahmar) setelah matahari tenggelam, sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa waktu tersebut ditandai dengan hilangnya cahaya putih (syafaq abyad). Perbedaan ini muncul dari berbagai interpretasi kata "syafaq" dalam bahasa Arab yang memiliki makna ganda. Penelitian ini mengkaji konteks sosial, budaya, dan ilmiah pada zaman Imam Hanafi serta pengaruh perkembangan ilmu astronomi terhadap penentuan waktu salat.

Artikel ini juga menganalisis pengaruh faktor geografi dan iklim, dengan menunjukkan bahwa syafaq abyad lebih mudah diamati di Baghdad dibandingkan dengan Indonesia. Di Baghdad, kondisi atmosfer yang kering dan minim pencemaran cahaya memberikan kontras yang lebih tajam, sedangkan di Indonesia, kondisi kelembapan tinggi dan pencemaran cahaya mengakibatkan kesulitan dalam observasi fenomena tersebut. Selanjutnya, kritik terhadap pendapat Imam Hanafi diungkapkan dengan mempertimbangkan pendekatan multi-disiplin, termasuk teologi dan astronomi, menunjukkan bahwa perlunya pemahaman yang lebih fleksibel dan adaptif dalam menentukan waktu salat di berbagai konteks geografis.

Kesimpulan dari artikel ini menunjukkan pentingnya mengintegrasikan tradisi dengan kemajuan ilmu pengetahuan untuk mencapai praktik ibadah yang lebih akurat dan relevan pada era modern, memperkuat kebutuhan diskusi terbuka antara ulama, serta meningkatnya keselarasan dalam praktik ibadah di kalangan umat Islam di seluruh dunia.