Menikahi Isteri Orang Yang Mafqud
Analisis Perbandingan Mazhab
DOI:
https://doi.org/10.24252/shautuna.vi.28054Kata Kunci:
Mafqud, Istri Orang Hilang, PerkawinanAbstrak
Jurnal ini membahas tentang “Menikahi Istri Orang Yang Mafqud (Analisis Perbandingan Mazhab)”. Penelitiann ini memiliki tujuan, untuk mengetahui pendapat imam mazhab terhadap status hukum pernikahan istri orang yang mafqud dan untuk mengetahui hukum menikahi istri orang yang mafqud dalam pandangan para imam mazhab. Penelitian ini menggunakan metode library research. Adapun penelitian ini menggunakan metode pendekatan teologi normatif syar’i. Teknik yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif deskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan Dari pendapat ulama-ulama tersebut di atas dapat diambil suatu kesimpulan yang lebih tepat untuk diberlakukan masa kini ialah pendapat yang rajih dikalangan mazhab Al-Syafi’i serta pendapat kedua dari Imam Ahmad ibn Hanbal yang menyatakan bahwa penetapan meninggalnya seseorang yang mafqud diserahkan kepada ijtihad hakim atau pemerintah setempat. Seorang isteri apabila ditinggal pergi oleh suaminya dalam jangka waktu yang sangat lama. Kemudian, si isteri yang ditinggalkan merasa dirugikan secara batin maupun materi maka ia berhak menuntut cerai berdasarkan keputusan hakim dan menikah lagi dengan orang lain. seorang isteri apabila ditinggal pergi oleh suaminya dalam jangka waktu yang sangat lama. Kemudian, si isteri yang ditinggalkan merasa dirugikan secara batin maupun materi maka ia berhak menuntut cerai berdasarkan keputusan hakim dan menikah lagi dengan orang lain. Apabila si mafqud itu kembali datang sebelum istrinya menikah, maka tetap wanita tersebut adalah isterinya. Akan tetapi jika suaminya datang setelah isterinya menikah, tetapi belum digauli oleh suami kedua maka ia tetap isterinya juga. Sedangkan, jika suami pertama datang setelah isterinya digauli, maka dirinya memilih antara kembali kepada isterinya atau meminta maharnya kembali. Jika suami pertama lebih memilih untuk meminta maharnya, maka ia berhak mengambil maharnya dari suami yang kedua, yang ia berikan kepada isterinya.
Referensi
Bakry, Muammar Muhammad. “Laws Exegesis versus Jurisprudence (Comparative Studies in Understanding Religious Text and the Istinbath Process of Law on Mahar).” JICSA (Journal of Islamic Civilization in Southeast Asia) 9, no. 1 (2020): 1–21. https://doi.org/10.24252/jicsa.v8i2.12005.
Dahlan, Djamaluddin Arra’uf bin. Aturan Pernikahan Dalam Islam. Cet., I. Jakarta: JAL Publising, 2011.
Ghazaly, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Cet., 8. Jakarta: prenadamedia Group, 2019. https://books.google.co.id/books?id=hkC2DwAAQBAJ.
Hasan, Hamzah. “Pernikahan Di Bawah Umur (Analisis Tentang Konsekuensi Pemidanaan).” Al Daulah: Jurnal Hukum Pidana Dan Ketatanegaraan 6, no. 1 (2017): 86–120. https://doi.org/10.24252/ad.v6i1.4869.
Unduhan
Diterbitkan
Cara Mengutip
Terbitan
Bagian
Lisensi
Hak Cipta (c) 2022 Kurnia Mega Utami, Abdul Wahid Haddade, Arif Rahman

Artikel ini berlisensi Creative Commons Attribution 4.0 International License.






