Tinjauan atas Kewenangan Pengadilan dan Status Hukum Perkawinan setelah Menikah Menurut Hukum Islam

Penulis

  • Asiroht Can Sauli Sibarani Universitas HKBP Nommensen
  • Hisar Siregar Universitas HKBP Nommensen

DOI:

https://doi.org/10.24252/iqtishaduna.v7i1.61981

Abstrak

Abstrak

Tulisan ini menganalisis kewenangan pengadilan dan status hukum perkawinan pasangan Islam yang berpindah agama setelah menikah dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif Indonesia. Permasalahan muncul karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tidak secara eksplisit mengatur akibat hukum dari perpindahan agama, sehingga menimbulkan vacuum legis dan perbedaan tafsir di kalangan hakim. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual melalui studi kepustakaan, dengan menelaah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), yurisprudensi Mahkamah Agung, serta literatur fikih klasik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan absolut tetap berada pada Pengadilan Agama apabila akad nikah dilangsungkan menurut hukum Islam, meskipun salah satu pihak berpindah agama. Status perkawinan tidak batal secara otomatis karena murtad, melainkan tetap sah hingga ada putusan pengadilan. Pandangan fikih klasik yang menempatkan murtad sebagai pembatal akad berbeda dengan hukum positif Indonesia yang menekankan prosedur formal demi kepastian hukum. Penelitian ini menyimpulkan perlunya penguatan regulasi melalui amandemen Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 atau peningkatan kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) agar tidak hanya bergantung pada yurisprudensi.

Kata Kunci: Perceraian, Perpindahan Agama, Hukum Islam, Pengadilan Agama, Yurisprudensi

Diterbitkan

2025-10-21

Terbitan

Bagian

Volume 7 Nomor 1 Oktober 2025